Jumat, Desember 27, 2024

Dr. EFRI JHONLY MELAWAN MAFIA TANAH DAN PERIZINAN

Dr. Efri Jhonly Ketua IKA Universitas Jayabaya dan Komisaris Aplus Pacific

Lahan seluas 250 hektar yang direncanakan sebagai kawasan industri, ternyata izin lokasinya sudah atas nama orang lain. Kok bisa?

Bagai padi yang di rendang di kuali hingga kulitnya pecah meletup. Begitulah kondisi Efri Jhonly yang tak lagi mampu meredam kegeramannya.

Gerangan apa yang membuatnya meradang. “Mafia perizinan,” ujar Efri Johnly Ketua Ikatan Alumni (IKA) Universitas Jayabaya dan Komisaris Aplus Pacific tanpa tedeng aling-aling.

Semula dirinya berharap, keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi senjata pamungkas dalam memberantas mafia perizinan. Hanya saja dalam pelaksanaannya di lapangan, lebih mirip ‘macan ompong’ saat mengurus perizinan.

Bukan hanya Jhonly atau ‘jhonly-jhonly’ lainnya, dalam suatu kesempatan Bahlil Lahadalia yang saat itu masih menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sempat mengungkapkan uneg-uneg yang sama.

“Sehebat apa pun regulasi yang dibuat, Undang-Undang Omnibus Law sekali pun, persoalan realisasi investasi itu tidak semata-mata faktor kendala regulasi. Banyak hantu-hantu yang ada di lapangan!” ujar Bahlil di Februari 2020 lalu.

“Banyak hantu-hantu yang ada di lapangan. Itu luar biasa mafia tanah, ada pemain-pemain lokal. Dan yang bisa menyelesaikan hantu-hantu adalah orang yang pernah belajar jadi hantu dan atau dia pernah menjadi hantu,” lanjutnya.

Hanya saja hantu-hantu itu masih saja bergentayangan. Bukan boleh hasil dengar cerita atau katanya-katanya, tapi dialami langsung oleh Efri Jhonly.

“Saya punya lahan seluas 250 hektar di bilangan Bekasi untuk dijadikan kawasan industri,” ujarnya.

“Saat mau diurus perizinannya, ternyata mengalami kesulitan untuk menerbitkan izin lokasi. Ternyata di atas lahan yang kami punya sudah ada izin lokasi milik orang lain berdasarkan izin prinsip pembebasan. Bayangin, lahannya milik kita tapi izin lokasinya atas nama orang lain. Kok bisa?”

Dia pun melanjutkan, persoalan mafia tanah dan mafia perizinan bukan sesuatu hal yang baru di negeri ini. Bahkan jejak digitalnya berhamburan di dunia maya.

Cukup dengan mengetik kata ‘mafia tanah’ di mesin pencari (search engine). Korbannya pun bukan orang sembarang. Mulai dari publik figur Nirina Zubir hingga Dino Patti Djalal (Mantan Wakil Menteri Luar Negeri/Wamenlu).

Bahkan kabar terbaru, seorang purnawirawan jenderal bintang dua TNI tak luput jadi korban mafia tanah di Depok. Tersangkanya pun tak tanggung-tanggung, yakni Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok.

Bahkan dalam kasus Dino Patti Djalal. Menurut pengakuan Dino, pelaku bukan hanya berupaya merampas tanah milik keluarga Dino. Mereka mengancam dan berencana menghabisi nyawanya.

“Bayangkan saja kalau sudah sampai ke kalangan atas, bagaimana kondisinya dengan masyarakat biasa. Apa yang bisa mereka lakukan saat berhadapan dengan mafia tanah,” ujarnya.

“Ini sama saja bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja implementasinya di daerah dan institusi resmi terkait pertanahan. Sedangkan yang terjadi di lapangan banyak SK pengembang atau perusahaan yang mengantongi izin prinsip. Izin inilah yang diperjualbelikan atau dikenal mafia perizinan. Ini yang harus dimusnahkan,” paparnya.

Hal yang membuatnya dongkol, kelihaian para mafia perizinan ini dalam memanfaatkan celah hukum. Dijelaskannya, masa berlaku surat izin prinsip antara 2-3 tahun untuk pembebasan lahan dengan persyaratan bila tidak tercapai 50 persen +1 maka SK akan hangus.

“Untuk mengakalinya mafia perizinannya akan membuat perusahaan baru untuk mendapatkan SK baru, padahal orangnya yang itu-itu juga. Ini jelas bertentangan dengan UU Cipta Kerja jadi wajib diberangus,” tegasnya.

Dalam pengamatannya, ada banyak celah yang bisa dimanfaatkan para mafia, bahkan di luar nalar bagi masyarakat awam. Mulai dari berpura-pura membeli tanah atau rumah yang diincar, kemudian meminjam sertifikat asli untuk diperiksa Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan setelah itu dibaliknamakan atau melakukan gugatan terhadap pemilik lahan yang sah dengan dokumen (bisa girik, risalah lelang atau lainnya) palsu.

Termasuk dengan cara melakukan gugatan demi gugatan yang menimbulkan banyaknya putusan pengadilan dengan kekuatan hukum tetap. Hanya saja, isi putusannya bertentangan satu dengan lainnya sehingga tidak dapat dieksekusi

Bernama lengkap Dr. Efri Jhonly, S. H., M.H., M. Kn. bukan orang baru dalam berurusan dengan mafia tanah. Salah satunya ikut menjadi kuasa hukum Tono Amboro, selaku korban, dalam kasus manipulasi kepemilikan rumah di Jalan Ciledug Raya, Jakarta Selatan oleh komplotan mafia tanah.

Rumah seharga Rp25 miliar milik Tono Amboro dan Ratna Kartika bisa beralih kepemilikan. Hebatnya, perubahan kepemilikan secara ilegal itu hanya membutuhkan waktu kurang dari satu bulan. Kecepatan waktu ini berkat adanya keterlibatan notaris/PPAT dalam jaringan mafia.

“Saya termasuk mendukung keberadaan UU Cipta Kerja yang niatnya menyederhanakan undang-undang dari 1.203 pasal di 76 Undang-Undang sektoral yang ada menjadi satu undang-undang yang terdiri atas 15 bab dan 176 pasal saja yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ujarnya.

Dia pun menunjuk Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA) sebagai produk hasil UU Cipta Kerja. Sehingga memudahkan bagi siapa saja dalam mengurus perizinan, termasuk izin investasi dan penggunaan tanah.

“Kebijakan OSS ini memang bagus. Cuma pelaksanaannya tidak bagus,” ujarnya singkat.

Lagi-lagi, pengusaha properti ini memberikan contoh yang dialaminya. “Saya ada contoh, mengajukan SK tapi izin pertimbangan teknis dari BPN cikal bakal SK terbit. Inilah yang harus dipotong kalau mau UU Cipta Kerja benar-benar berjalan, walaupun diberi 2 tahun untuk revisi” ungkapnya memberi masukan.

Selain itu, dirinya pun meminta agar Kementerian Investasi/BKPM selaku pemegang OSS harus bisa berdiri di barisan paling depan sebagai corong pemerintah dalam memonitor dan bersinergi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam menjalankan UU Cipta Kerja.

“Kedua kementerian ini harus bersinergi. Kalau tidak maka jadi celah terjadinya mafia perizinan. Kasihan rakyat tiba-tiba kehilangan tanah yang menjadi miliknya oleh mafia tanah,” ujarnya.

“Padahal di UU Cipta Kerja sudah mengatur barang siapa yang memiliki tanah, maka dia boleh mengajukan izin. Saya punya tanah, saya mau bangun harus nunggu izin orang lain berakhir. Harusnya secara otomatis yang tidak punya tanah gugur. Regulasi itu harus dijalankan, bongkar itu mafia perizinan,” tegasnya.

Dia hanya ingin, niatan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang ingin membangun Indonesia dengan mendorong investasi, mempercepat transformasi ekonomi, menyelaraskan kebijakan pusat-daerah, memberi kemudahan berusaha, mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih, serta untuk menghilangkan ego sektoral.

“Kita lihat secara nyata saja UU Cipta Kerja dilahirkan pada saat pandemi Covid-19. Dibandingkan dengan negara-negara lain, stabilitas ekonomi kota masih jauh lebih baik. Ini dikarenakan pemerintah membangun infrastruktur yang bersinergi dengan kawasan industri sebagai daya tarik investasi asing masuk,” ujarnya.

“Investor masuk, kawasan industri tumbuh, menyerap tenaganya kerja, terjadi peningkatan pendapatan dan sekaligus menurunkan angka pengangguran serta terjadi pertumbuhan ekonomi baik di daerah maupun pusat.”

“Barang yang sudah bagus ini jangan sampai rusak oleh mafia perizinan. Bisa rusak nanti Indonesia di mata investor asing. Korbannya rakyat Indonesia juga. Ini yang harus diberantas, sesuai semangat UU Cipta Kerja,” pungkasnya. (TN)

TOKOHDr. EFRI JHONLY MELAWAN MAFIA TANAH DAN PERIZINAN
- Advertisement -spot_img

TERKINI

- Advertisement -spot_img