Sabtu, April 19, 2025
spot_img

Dinamika Sawit Indonesia: Tantangan & Strategi ke Depan

Keberlangsungan industri kelapa sawit di Indonesia terancam. Hal itu dipicu dari beragam faktor, mulai dari ketidaksiapan strategi nasional, penurunan produktivitas, hingga tekanan internasional. Jika tidak segera ditangani, industri sawit Indonesia
bisa mengalami kejatuhan drastis pada 2029.

Sahat Sinaga – Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).

SUARAINDONESIA.ORG,. – Industri minyak sawit Indonesia sebagai pemain utama di pasar global, menghadapi berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri. Sinyalemen
tersebut ditangkap oleh Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga. Pria yang dikenal sebagai sosok yang lugas dan tegas tersebut secara konsisten menyelami berbagai permasalahan yang akan menjadi ancaman kuat bagi keberlangsungan industri ini.

Meskipun memiliki keunggulan kompetitif ini, Sahat menilai Indonesia tidak
memiliki strategi yang jelas dalam mempertahankan dan memperkuat
dominasinya

Mulai dari ketidaksiapan strategi nasional, penurunan produktivitas, hingga tekanan internasional. Jika tidak segera ditangani, Sahat memperingatkan bahwa industri sawit Indonesia bisa mengalami kejatuhan drastis pada 2029. Akankah prediksi Sahat akan benar-benar menjadi kenyataan?

Kenyataan ke depan tidak akan bisa menebak dengan tepat. Tapi jika di lihat dari fakta yang berkembang dewasa ini prediksi yang diluncurkan Sahat tidak bisa dianggap angin lalu. Ini patut menjadi perhatian serius bagi pihak-pihak yang terklibat dalam inudstri ini, termasuk di dalamnya pemerintah sendiri.

Dalam forum IPOX Bali 2024, Sahat mengungkapkan bahwa banyak pemangku kepentingan di Indonesia belum memahami posisi strategis sawit nasional di kancah global. “Kita ini ibarat petinju kelas berat, tapi kita tidak sadar kekuatan kita sendiri,” ujarnya kepada Suara Indonesia belum lama ini.

Dengan pangsa pasar global sebesar 34%, Indonesia mendominasi produksi minyak sawit dunia, mengungguli 17 jenis minyak nabati lainnya. Keunggulan sawit Indonesia terletak pada Produktivitas tertinggi. Setiap hektar kebun sawit mampu menghasilkan hingga 5 ton minyak per tahun, jauh lebih efisien dibandingkan kedelai yang hanya 0,8 ton per hektar per tahun. Biaya produksi yang lebih efisien membuat minyak sawit di Indonesia lebih kompetitif dibanding minyak nabati lain. Dengan pangsa pasar global mencapai 34%, sawit di Indonesia menjadi tulang punggung pasokan minyak nabati dunia.

Namun, meskipun memiliki keunggulan kompetitif ini, Sahat menilai Indonesia tidak memiliki strategi yang jelas dalam mempertahankan dan memperkuat dominasinya. Salah satu kesalahan besar yang diidentifikasi Sahat adalah kegagalan membaca dinamika pasar global.

Perkebunan kelapa sawit. (Foto gettyimages)

Pada Kuartal IV 2024, Indonesia merespons tekanan terhadap sawit dengan sikap defensif, termasuk mempercepat program biodiesel B40 dan B50. Namun, keputusan ini justru memicu kepanikan di pasar global.

“Ketika kita menyatakan akan menjalankan B40, B50, bahkan B100, kita tidak sadar bahwa kita sedang membangunkan ‘macan tidur’. Dunia melihat bahwa pasokan sawit akan berkurang drastis, dan harga pun melonjak,” ungkap Sahat.

Pada Kuartal III 2024, harga minyak sawit melonjak menjadi USD 1.390 per ton, jauh di atas harga minyak kedelai yang hanya USD 1.026 per ton. Dengan selisih harga sekitar USD 350, daya saing sawit melemah drastis karena pembeli lebih memilih minyak nabati lain.

“Siapa yang mau beli sawit kalau harganya lebih mahal dari alternatif lain?” kata Sahat. Namun, meskipun situasi ini sudah jelas di depan mata, pemerintah tidak berani menurunkan harga karena khawatir merugi atau menghadapi konsekuensi hukum.

Selain tekanan harga, Sahat juga menyoroti ancaman yang lebih sistematis terhadap industri sawit: munculnya konsep Apartheid Palm Oil. “Ada upaya dari negara-negara Barat untuk membuat sawit seperti sistem apartheid di Afrika Selatan dulu, di mana produk ini diperlakukan secara diskriminatif dibanding minyak nabati lain,” kata Sahat.

Kampanye negatif terhadap sawit, menurutnya, bukan hanya karena faktor lingkungan, tetapi juga ketakutan terhadap dominasi sawit Indonesia di pasar global. Sayangnya, Indonesia justru terlena dan tidak memiliki strategi untuk menghadapinya.

Untuk mengatasi persoalan tata kelola yang amburadul, Sahat mengusulkan pembentukan Badan Otorita Sawit Indonesia. Lembaga ini akan berada langsung di bawah Presiden dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola industri sawit, termasuk regulasi, pengawasan, dan pengambilan kebijakan strategis.

Badan ini akan mengambil alih peran beberapa kementerian terkait, termasuk Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ATR, yang selama ini sering tumpang-tindih dalam kebijakan sawit. Dengan demikian, industri sawit bisa dikelola secara lebih efektif dan berkelanjutan. (SI)

NEWSNasionalDinamika Sawit Indonesia: Tantangan & Strategi ke Depan
- Advertisement -spot_img

TERKINI

- Advertisement -spot_img